Minggu, 21 Agustus 2011

MERDEKA dari BELENGGU KEMISKINAN

Kemiskinan Dalam Kemerdekaan

Oleh: H.S. Dillon
  Senin, 17 Agustus 2009 17:00 WIB

Merdeka bagi Bung Karno adalah political independence atau politieke onafhankelijkheid. Akan tetapi, menyadari bahwa diperlukan perjalanan panjang guna mewujudkan ‘Pernyataan' kemerdekaan politik menjadi sebuah ‘Kenyataan'  kehidupan Bangsa, Proklamator mengibaratkan "merdeka" atau "kemerdekaan" itu sebagai sebuah jembatan emas. Dalam bahasa yang lebih lugas Bung Karno menggambarkan proses yang harus dilalui dalam perjalanan panjang tersebut: "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!" (Sukarno, 1 Juni 1945)

Pernyataan terakhir ini merefleksikan kesadaran Pendiri Republik mengenai kisah tragik kehidupan rakyat yang terjajah selama 350 tahun sebagai korban nafsu akumulasi kolonialisme dan imperialisme. Oleh karenanya, pernyataan memerdekakan rakyat dan memerdekakan hatinya bangsa itu mengandung makna dan sekaligus kewajiban memerdekakan segenap kehidupan rakyat Indonesia baik secara jasmani maupun rohani, termasuk dari belenggu rendah-diri seperti inlander. Anak kalimat pada alenia pertama Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: "..... maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan", semakin menegaskan bahwa tidak tersedia ruang bagi kelompok yang mewarisi nafsu akumulasi kolonialisme dalam tubuh bangsa Indonesia merdeka.

Sedari awal perjalanan Republik, sudah diupayakan meningkatkan posisi tawar para buruh-tani dan meredistribukan lahan kepada petani gurem, dengan membentuk Komite Agraria pada tahun 1948.  Akan tetapi, kendati aset penjajah sempat dinasionalisasi, kelompok penikmat ketimpangan berhasil menghalangi implementasi UU Pokok Bagi Hasil dan UU Pokok Agraria.  Puluhan tahun kemudian, terkesan bahwa Presiden Suharto menyadari kesenjangan yang timbul sebagai akibat fundamentalisme pasar.  Beliau mengumpulkan konglomerat di peternakan Tapos, dan mencoba menyakinkan mereka bahwa keadilan ekonomi akan lebih menjamin kesinambungan pembangunan. Akan tetapi, Frankenstein Konglomerat, yang menjadi kaya-raya semata-mata akibat berkolusi dengan  pejabat Orde Baru, berhasil menggagalkan prakarsa penciptanya meredistribusikan 15 persen saham mereka kepada para buruh dan staffnya.  

Bagaimana potret kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia memasuki usia kemerdekaannya yang ke-64 tahun ini? Kendati selalu muncul angka yang menghibur, tetapi secara kasat mata kemiskinan masih terus saja melekat dalam kehidupan anak Bangsa, seperti para petani gurem, buruh tani, buruh pabrik, buruh nelayan, nelayan gurem, PKL, pengangguran, dan kaum terpinggirkan lainnya. Belum lagi banyaknya tersiar kisah nestapa seperti ayah yang menggendong jenazah bayinya kesana kemari, tiada kuasa menyewa sejengkal tanah untuk mengembalikan jasad bayi suci kepangkuan Ibu Pertiwi. Sementara itu, kegemerlapan kehidupan sekelompok warga Bangsa yang dirasuki nafsu akumulasi dan konsumsi berlomba-lomba menyaingi rekan sejawatnya di manca negara.  Adegan seperti ini bukan saja menyilau kota-kota besar, tetapi disajikan keseluruh pelosok nusantara oleh media massa. Sukar untuk menampik tudingan bahwa perbuatan dan pembiaran kita turut melanggengkan ketidak-adilan dan kemiskinan. Padahal, pada tahun 2001 seorang pakar menaksir bahwa hanya 5 persen dari pendapatan 20 persen kelompok warga-negara  terkaya kita sudah akan cukup untuk menghapus kemiskinan di nusantara. 

Kendati masa transisi pasca pengorbanan mahasiswa mengakhiri kekuasaan otoriter secara simbolis dijuluki ‘reformasi', tetapi masih belum juga timbul kesadaran bahwa realitas kemiskinan sebagian besar rakyat itu merupakan akibat ketidak-adilan dari sistem yang melingkarinya selama ini. Sekitar 160 juta rakyat, atau 80 persen dari keseluruhan rakyat Indonesia masih hidup di perdesaan. Turun-temurun mereka terpaksa berjuang mempertahankan hidup menghadapi berbagai matra ketidak-adilan sosial. Tidaklah mengherankan manakala lebih dari 70 per sen warga miskin berada diperdesaan, dan lapisan bawah di perkotaan ditempati mereka yang tergusur derita dari perdesaan.

Kesimpulan ini diperkuat oleh catatan jurnalis harian termuka ibukota, Ahmad Arif, yang menyusun laporan ekspedisi Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan sekitar setahun yang lalu:
Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya. Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.

Pelajaran yang sepantasnya ditarik dari kenyataan getir ‘Kemiskinan dalam Kemerdekaan' ini adalah   perlunya kita meninggalkan paradigma pembangunan tidak-manusiawi trickle-down. Paradigma ini menghalalkan disitanya sebahagian besar hasil pembangunan oleh mereka yang sudah mapan, dengan hanya sebahagian kecil yang ‘diteteskan' kepada majoritas rakyat.  Ini hanya mungkin berlangsung dalam keadaan rakyat tidak berdaya; dengan perkataan lain, kemiskinan rakyat kita itu bersifat struktural, ditandai oleh penyebaran kekayaan dan kekuasaan yang sangat tidak merata!

Sudah saatnya menggunakan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan dan keadilan sosial, sebagaimana yang selalu saya sebut dengan paradigma People-driven Development, atauPembangunan yang Diarahkan Rakyat. Strategi pembangunan dengan sendirinya menjadi pertumbuhan-melalui-pemerataan, atau growth through equity. Untuk mengoperasionalkan strategi ini menanggulangi semua matra kemiskinan, dibutuhkan pendayagunaan secara sinergis empat perangkat kebijakan, yaitu modal, jangkauan, penghasilan, dan suara (assets, access, income, and voice). Dalam kaitan ini Reforma Agraria, terutama redistribusi tanah bagi rakyat dan memperluas jangkauan terhadap kredit, merupakan landaasn kokoh upaya meningkatkan pendapatan dan memperkuat suara rakyat yang selama ini dibungkam.

Terbentuknya keseimbangun baru pemilikan kekayaan dan kekuasaan  politik dalam masyarakat, akan dapat sekaligus memperkokoh kewarga-negaraan.  Dengan memperkuat peran-serta dalam proses pengambilan keputusan yang bertalian dengan masa depannya secara bersama, diharapkan warga-negara akan mampu membangun kohesi sosial dan meraih legitimasi politis guna mengalahkan kelompok kepentingan. Warga-negara yang semakin berdaya akan menjadi kekuatan-utama mendorong transformasi yang dibutuhkan untuk memutuskan pewarisan kemiskinan, sebagai prasyarat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pilihannya sudah jelas, tidak ada jalan tengah! Apakah melanjutkan budaya membohongi diri dengan terus menafikan bahwa ‘Kenyataan' yang dihadapi rakyat yang sudah turn-temurun terus miskin barulah ‘Pribumisasi Penjajahan', atau mengetuk nurani bertekad sungguh-sungguh memenuhi janji ‘Bagimu Negeri, Jiwa-Raga Kami'?  Mendengarkan nurani akan menuntun kita menaklukkan nafsu akumulasi dan konsumsi, melintasi segala perbedaan guna bersama-sama mengerahkan seluruh daya dan dana untuk membantu upaya saudara-saudara kita merebut kemerdekaan seutuhnya dari belenggu kemiskinan. Sejarah perjalanan Bangsa akan mencatat pilihan kita.


HS Dillon,
Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional, 2001

Kamis, 04 Agustus 2011

SUKA BOHONG...!!!!


Lawak nih... MAS BROW,percakapan yang sangat lucu

Cewek: Mas kerja dimana?
Cowok: Saya pemilik beberapa hotel di Jakarta dan Bali.
Cewek: (woow konglomerat nih !!) Mas tinggal dimana?
Cowok: Di pondok indah golf view.
Cewek: (woow kereeen.. perumahan orang2 “the have”) Pasti gede rumahnya ya?
Cowok: Cuma 3000 m2
Cewek: Mas pasti mobilnya banyak ya?
Cowok: Cuma 5, ferrari, audi, mercy, bmw sama range rover.

Cewek: (ini cowo idamanku !!) Mas punya istri?
Cowok: Belum…
Cewek: (wah enak juga jadi bini nya) Mas merokok?
Cowok: Tidak.
Cewek: (Wah sehat nih) Mas suka minuman keras?
Cowok: Tidak
Cewek: (wow cool) Mas suka judi?
Cowok: Tidak.
Cewek: (wah halal nih rejekinya) Mas suka main perempuan tau dugem gitu?
Cowok: Tidak.
Cewek: (sholeh banget nih cowo) Hobbinya mas apa?
Cowok: bo’oooooong.



Ck.ck.ckc..wkw.wkw..wkwkwkwk